Cicak- Cicak di “dinding”..
Diam- diam “Menyadap”..
Datang seokor Buaya..
Hap….
Cicak di Tangkap..

Dalam tempo dua minggu ini Media nasional di ramaikan oleh berita perseteruan antara cicak dan buaya. Entah sejak kapan Istilah ini mulai di populerkan. Namun pastinya istilah ini di populerkan oleh Kabareskrim yang baru beberapa hari ini Non aktif, yaitu Susno Djuaji.
Karena perseteruan ini, bahkan salah satu stasiun televisl nasional secara terus menerus tanpa henti selalu meng- up-date perkembangan berita cicak versus Buaya tersebut, Sehingga karena pemberitaannya yang terus intens, sampai- sampai kinerja menteri- menteri yang baru saja menjabat agak tertutupi dan kalah populer dengan isu cicak versus Buaya ini.
Episode pun terus berlanjut. Penahanan “Sang cicak” Candra M Hamzah dan bibit Samad Rianto cukup menyita perhatian publik. Dukungan Dari rakyat pun terus mengalir. Dukungan itu berasal dari dua dunia, yaitu dunia Nyata dan dunia Maya.
Di dunia nyata, para tokoh dan masyarakat dari berbagai elemen turun kejalan bersama- sama dan dengan suka rela menjaminkan diri untuk membebaskan bibit dan candra. Dukungan dari dunia nyata mengalir cukup jelas dari Jakarta hingga ke berbagai daerah.
Yang lebih fantastis terjadi justru di dunia maya. Dukungan untuk Bibit dan Chandra di jejaring social Facebook telah mencapai lebih dari 1, 2 Juta member. Sudah melawati target awal yaitu sebesar 1 Juta member.
Harus di akui, dukungan yang hebat dari dunia maya ini mampu menekan Presiden. Hal ini trerbukti dengan di bentuknya Tim pencari fakta atas instruksi langsungn dari presiden.
Derasnya arus dukungan yang mengalir melalu dunia maya ini menunjukkan kebangkitan masyarakat sipil yang harus di perhitungkan oleh penguasa. Karena bisa saja ini akan mengarah kepada bentuk people power.
Besarnya dukungan masyarakat melalui Facebook di satu sisi menunjukkan tumpulnya DPR sebagai pengusung aspirasi rakyat. Yang pada akhirnya teknologi internet menjadi Alternatif penampungan gerundelan rakyat.
Apalagi banyak keputusan dan tindakan DPR, dalam Hal ini komisi III yang justru berseberangan dengan suara rakyat. Hal ini di perlihatkan ketika rapat kerja antara DPR dengan Polri. Dalam rapat kerja itu terlihat sekali sikap DPR yang dinilai berat sebelah dalam membela kepolisian. Secara tidak langsung. Komisi III DPR telah mempertototonkan diri secara demonstratif sebagai Humas Polri. Tanpa malu institusi itu melawan kehendak rakyat yang di wakilinya. Arogansi komisi di bidang hukum ini jelas telah melukai hati rakyat.
Selama tujuh jam, komisi III menggelar rapat kerja dengan kapolri Bambang Hendarso. Anggota dewan menghadiahi tepuk tangan dan pujian atas penjelasan dan sikap polri terkait dengan kasus bibit dan Chandra. Padahal arus besar kekuatan rakyat meyakini adanya rekayasa mengkriminalkan dua pemimpin non aktif KPK itu.
Hal ini menyebabkan rakyat semakin tidak percaya terhadap DPR yang berlawanan dengan Suara rakyat. Dengan demikian rakyat semakin bingung hendak kemana lagi bisa mengadu.
Facebook muncul sebagai alternative terhadap kebuntuan rakyat dalam menyalurkan aspirasinya. Makanya tidak heran grup- grup lain pun bermunculan seperti Gerakan sejuta Facebookers kecam komisi III DPR RI yang mendukung gerakan buaya dengan jumlah member hingga saat ini berjumlah sekitar 25 ribuan member , Lalu ada lagi Gerakan 2.000.000 Facebookers dukung penuntasan kasus Bank Century dengan jumlah member sekitar 12 ribu member. Selain dua grup ini masih banyak grup- grup lain yang mendukung berbagai penuntasan kasus yang selama ini belum selesai. Dan sangat mungkin grup- grup seperti ini akan terus bermunculan seiring dengan kepercayaan rakyat yang makin menipis terhadap DPR dalam dunia nyata..
Oleh karena itu kita bisa bilang bahwa DPR dunia maya yang tidak pernah di gaji dan menuntut berbagai fasilitas pribadi ternyata lebih peka terhadap suara rakyat di banding dengan DPR dunia nyata…

Welcome to Parlement Online…


Tepat pada tanggal 7 november tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan Gelar pahlawan nasional kepada Mohammad Natsir. Penghargaan yang Cukup telat Sebenernya untuk di berikan untuk orang sekaliber M. Natsir. Dia yang menjadi arsitek pemersatu bangsa lewat mosi integral nya yang di buat ketika bangsa ini dalam keadaan terpecah belah.

Berbicara Nasionalisme dalam pemikiran Politik Muhammad Natsir, merupakan suatu yang menarik untuk di teliti lebih dalam, mengingat Natsir sebagai tokoh yang menyandang gelar “Islamis” pada masanya, karena begitu gigihnya Ia bersama tokoh- tokoh Islam lainnya seperti Haji Agus Salim dan A. Hasan dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara di republik ini, selain itu Natsir juga banyak membela Islam yang terus mendapatkan serangan dari kaum- kaum sekuler yang salah satunya merupakan Presiden pertama Indonesia Soekarno. Hal ini bisa di telusuri dalam sejarah antara kisaran tahun 1930 sampai tahu 1940-an mengenai perdebatan antara soekarno dan M. Natsir yang berpolemik Mengenai peran dan posisi agama dalam negara. Mengikuti Pendahulunya Haji Agus Salim, Natsir berada pada posisi membela Islam.

Pada masa- masa itu, Natsir muda begitu gigih membela Islam. Namun perbedaan itu bukan lah suatu hal yang abadi. Ketika Soekarno mengalami masa Pengasingan yang begitu berat di Ende, karena selalu memberikan kritik yang keras kepada Belanda. Natsir tanpa segan- segan banyak melakukan pembelaan dalam tulisannya di harian “Pembela Islam”. Hal ini menjadi bukti bahwa label “Islamis” yang melekat pada diri Natsir bukan berarti menjadikan dirinya anti terhadap Nasionalisme. Dalam beberapa tulisannya, Natsir juga banyak melakukan kritik yang keras terhadap kebijkan- kebijakan yang di terapkan oleh Belanda.

Berbeda dengan para pendiri republik di Eropa dan Negara- Negara di Amerika, yang tidak harus peduli terhadap tempat agama dalam Negara, Para Founding Father kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa agama merupakan realitas yang hidup. Agama telah menjadi bagian sistem sosial dan budaya dalam masyarakat. Hingga pada tingkat tertentu agama telah berperan sebagai sumber Inspirasi dan alat mobilisasi dukungan utuk melawan penjajah .

Karena itu mereka di paksa berpikir keras mengenai posisi dan peran yang sesuai bagi agama dalam Negara- bangsa (Nation- State) yang mereka bangun itu. Dalam hal ini sejak awal Natsir cenderung meletakkan kata sifat Agama di belakang Negara. Untuk itu bagi Natsir Nasionalisme Indonesia mestilah bersifat “Kebangsaan Muslimin”. Ini konsisten dengan pandangannya mengenai Islam sebagai dasar Negara, Islam sebagai Ideologi. Menurut Prof. Bachtiar Effendi, guru Besar pemikiran politik Islam Universitas Islam negeri (UIN ) Syarif Hidayatullah, pandangannya itu di dorong oleh pemikiran Theologisnya, sembari mengutip pemikiran yang sering di rujuknya, Montgomery Watt, bahwa “Islam is more than a religion, it is a complete civilization” .

Ketika kita berbicara Nasionalisme, maka tak bisa kita lepaskan dari kata demokrasi dan kebangsaan. Lalu seperti apakah dan bagaimana Nasionalisme serta sikap kebangsaan Natsir dalam perjuangan politiknya. Penelitian ini kedepannya akan banyak membahas mengenai hal tersebut, khususnya mengenai pemikiran Natsir mengenai peran dan posisi Negara dalam ruang lingkup Negara bangsa (Nation- state).

Kita ketahui bersama bagaimana pada masa- masa revolusi Indonesia para Founding Father kita memiliki Ideologi yang berbeda- beda. Feith secara gamblang menjelaskan dalam bukunya “Indonesian Political Thinking: 1945-1965” mengenai lima aliran pemikiran politik yang berkembang pada masa revolusi Indonesia, kelima aliran itu adalah Islam, sosialisme demokrat, tradisionalisme jawa, nasionalisme radikal, dan komunisme.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh feith, Natsir di golongkan kedalam aliran Islam, mengingat sepak terjangnya yang mengusung Islam sebagai dasar Negara republik yang pada saat itu masih sangat muda. Namun sebenarnya ketika kita membahas bagaimana aliran Islam dalam pemikiran politik di Indonesia, kita tidak bisa berhenti pada kata Islam saja. Karena para ahli banyak yang kembali mengklasifikasikan dan mengembangkan varian dari aliran politik Islam di Indonesia, Khususnya yang terjadi pada masa- masa Revolusi. Dimana pada saat itu pertarungan Ideologis begitu kuat antara aliran yang satu dengan aliran lainnya atau antara sesama aliran.

M. Amien Rais dalam salah satu artikelnya di majalah Tempo Edisi 100 tahun Mohammad Natsir mengatakan bahwa Natsir merupakan salah satu tokoh pemikir- negarawan .Tidak salah apa bila Natsir di katakan sebagai sosok pemikir-negarawan. Sebagai seorang pemikir beliau adalah tokoh yang sangat produktif dalam menulis dan memasyaratkan gagasannya.

Sebagai seorang negarawan, Natsir telah melahirkan suatu konsep intergasi yang kita kenal dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Mosi inilah yang menjadi perekat kembali persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang pada awalnya bangsa kita berbentuk Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian karena Mosi Integral Natsir itulah Indonesia kembali kepada bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia. Mosi Integral Ini menjadi salah satu bukti selanjutnya bagaimana rasa nasionalisme Natsir yang begitu besar dalam menjaga Persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa adanya Mosi Integral Natsir, mungkin sampai saat ini Negara kita masih menganut sistem federal seperti tahun 1949.