FASISME

.
Apakah fasisme itu? Istilah ini berasal dari Italia. Apakah semua bentuk kediktatoran kontra-revolusioner itu bisa disebut fasis? (Katakanlah sebelum kedatangan fasisme di Italia).
Kata fasisme hampir tidak dikenal sampai tahun 1920, ketiaka benito musolini mengadopsi kata itu sebagai nama gerakan revolusioner barunya. Fasisme berasla dari bahasa latin fasces yang berarti ikatan. Pada masa romawi kuno, petugas hukum menggunakan tanda berupa seikat sabuk dan kapaksebagai symbol kemenangan dan keadilan.di tahun 1920 musolini mengadopsi simbo ini danmemberinama fasci, untuk kelompok senjata yang diharapkan bisa membawanya kepada kekuasaan. Mussolini ditiru oleh seorang jerman bernama Adolf Hitler. Pengikut-pengikut Hitler yang revolusioner adalh para anggota partai buruh sosialis nasional. Dari nama partai ini istilah nazi muncul.nazi jerman dan fasis italic cukup mempunyai kesamaan antar keduanya, hingga kata fasis patut di lekatkan pada kedua organisasi tersebut.
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan. Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam itu—di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan kekerasan menjadi hukum—mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.
Namun, ideologi fasisme tidak hanya ada dalam buku-buku sejarah. Meski saat ini tidak ada satu negara pun yang menyebut diri sebagai fasis atau secara terbuka mempraktikkan fasisme, di berbagai negara di dunia terdapat banyak pemerintahan, kelompok dan partai politik yang mengikuti pola-pola fasistik. Walaupun nama dan taktiknya telah berubah, mereka masih terus menimpakan kesengsaraan serupa pada rakyat. Berkemungkinan pula, kemerosotan kondisi sosial dapat membuat dukungan terhadap fasisme makin berkembang. Karenanya, fasisme terus-menerus menjadi ancaman bagi kemanusiaan.
Kerumunan orangjerman yang menyambut Hitler dalam rally nazi, berteriak penuh semangat , Ein reich, ein volk, ein fuehrer! Satu Negara, satu bangsa, satu pemimpin. Slogan ini dapat menyimpulkan apa sebenarnya fasisme.
Ein Reich- Negara totaliter
Menurut fasis negra harus totaliter. Ini berarti Negara harus mempunyai kekuasaan total atas seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Dinegara totaliter, rakyat ada untuk kepentingan Negara.hanya ada satu partai politik dimana setiapa orang memberi suaranya, dan partai ini adalah pemerintah. Pemerintah mengontrol semuanya: pendidikan dan media massa, industri dan perdagangan, rekreasi dan agama, bahkan kehidupan berkeluarga. Rakyat Negara-negara totaliter tak dapat mengatakan apa yang mereka inginkan, pergi kemana yang mereka inginkan, dan mendidik anak-anak mereka seperti yang mereka inginkan.
Bagi kaum fasis, demokrasi hanyalah sedikit lebih baik dari pada chaos, mereka percaya Negara yang mengijinkan rakyatnya memberikan suara seperti yng mereka inginkan kepada banyak partai, akan mendorong keegoisan pribadi dan anarki.
Ein Volk- Rasialisme dan Nasionalisme
Kita dapat membuat daftar ciri-ciri khas utama fasisme seperti konsep-konsep otoriter atau hukum negara yang diktatoris, dan kebijakan luar negeri yang agresif. Namun di samping semua ini, karakteristik yang benar-benar dominan adalah rasisme. Jika kita menelaah ideologi Nazi khususnya, kita dapat melihat bahwa rasisme lah yang membuat fasisme seperti adanya. Kaum Nazi bangkit dengan mimpi membangun hegemoni ras Aria, yang mereka yakini sebagai ras unggul, di seluruh dunia, sebuah gagasan yang menjadi dasar semua kebijakan dan ukuran sosial mereka. Dalam ucapan Wilhelm Reich, "Teori ras adalah poros teoritis fasisme Jerman.
Rasisme juga merupakan ideologi fundamental pada rezim-rezim fasis lainnya, seperti rezim Mussolini dan Franco, walau tidak sejauh pada Nazi. Mussolini menyebutkan bahwa kaum Romawi yang memerintah Kekaisaran Roma adalah sebuah "ras unggul", dan bahwa orang-orang Italia, sebagai keturunan mereka, juga memiliki sifat unggul ini. Penaklukan Ethiopia didasarkan pada ide ras unggul ini, dan bahwa orang-orang Ethiopia yang berkulit hitam ini harus tunduk kepada orang Italia, sesuai dengan apa yang dianggap sebagai hirarki rasial alamiah. Franco mengemukakan klaim serupa untuk Spanyol.
Fasisme Jepang, yang berkembang sebelum Perang Dunia II dan merupakan bagian dari aliansi Hitler-Mussolini, juga mengidap suatu kompleks kejiwaan "ras unggul". Dalam New York Times tanggal 14 Agustus 1942, Otto D. Tolischus menulis tentang sebuah buku kecil terbitan Tokyo dari Profesor Chikao Fujisawa, salah seorang tokoh pemikiran politik dan filsafat Jepang,;
Menurut buku kecil ini, yang dicetak untuk penyebaran seluas-luasnya, Jepang sebagai tanah air asli ras manusia dan peradaban dunia, sedang berjuang dalam perang suci untuk mempersatukan kembali seluruh umat manusia yang sedang berperang ke dalam satu rumah tangga universal di mana setiap bangsa akan mengambil tempatnya yang selayaknya di bawah kedaulatan agung Kekaisaran Jepang, yang merupakan keturunan langsung dari Dewi Matahari dalam "pusat kehidupan kosmik absolut", dari mana asal mula bangsa-bangsa itu sebelum tersesat, dan ke mana mereka harus kembali.
Yang menarik, aliansi negara-negara fasis dibangun di antara kelompok-kelompok yang masing-masingnya memandang diri mereka sebagai "ras superior". Sebagai contoh, kaum Nazi tidak keberatan dengan klaim ras unggul Jepang, bahkan malah membesarkan hati mereka dengan menggambarkan Jepang sebagai "bangsa Aria kehormatan".
Namun, apakah akar rasisme yang menjadi dasar bagi semua rezim dan gerakan fasisme?
Ein Fuehrer- prinsip kepemimpinan
Jika fasisme adalah agama maka pemimpinya adalah adalh tuhannya-atau paling tidak God given (keturunan tuhan), kalau kita mau menggunakan unggkapan fasis yang umum. Pada tahun 1920-1945, pemeimpin kaum fasis adalah para dictator.dua dari merekamemiliki kekuasaan total, Mussolini dahn Hitler, menggunakan alat-alat demokratik pemilihan umumdan tawar menawarpolitik untuk mencapai itu. Namun setelah merekamengambil alih pemerintah, mereka menggenggam kekuasaan seluruhnya ditangan mereka. Kata-kata mereka adalah hukum. Kekuasaan mereka tidak diperiksa cabinet, parlemen dan pemilihan umum. Kaum fasis percaya bahwa Negara yang kuat memerlukan dictator sebagai kepala pemerintahannya. Kekeuasaan harus dikonsentrasikan kepada sedikit orang. Ini adalah prinsip kepemimpinan yang dibenarkan oleh filsuf Hegel dan Nietzche. Nietzche percay bahwa seorang pemimpin dengan jajaran anggota partainya mewakilielemen-elemen terbaik bangsa. Mereka bertahan hidup karena mereka adalah yang terkuat. Hegel beralih dari konsep binatang ke konsep mistis.ia percaya bahwa hero (pahlawan) ditakdirkan tuhan untuk mengemban kehendak dari semangt dunia. Hitler memnadang dirinya sebagai manusia yang terpilih takdir itu. Dalam otobiografinya mein kampf (perjuangan ku), ia menulis, “Dari berjuta-juta orang…satu orang harus melangkah maju.

Krisis Sosial: Lahan Subur bagi Fasisme
Terdapat banyak persamaan pada latar belakang sosial dan psikologis di mana negara fasisme terbentuk. Sebagian besar negara-negara tersebut kalah dan rusak parah dalam Perang Dunia I, hingga rakyatnya sangat lemah dan letih, banyak yang kehilangan suami, istri, anak-anak dan orang-orang yang mereka cintai dalam perang. Negara-negara tersebut juga tertimpa kesulitan ekonomi, politik, dan perasaan meluas bahwa bangsa mereka mengalami keruntuhan. Rakyat menderita secara material; partai-partai yang beragam itu tak mampu mengatasi masalah-masalah bangsa, di samping berkelahi di antara mereka sendiri.
Pada dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor terpenting dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang Italia tewas akibat perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat. Bagian terbesar dari populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu tertekan oleh resesi ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa Italia menderita kerugian besar dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian kecil dari tujuan mereka. Seperti halnya negara-negara lain yang lelah akibat perang, bangsa Italia merindukan untuk memiliki kembali kehormatan dan keagungan mereka sebelumnya.
Sebenarnya, ini adalah sentimen yang telah membangun kekuatan sejak akhir abad ke-19. Italia modern bernostalgia dengan kebesaran Kekaisaran Romawi, dan merasa berhak atas wilayah Romawi dahulu. Lagi pula, Italia merasa bersaing dengan kekuatan-kekuatan utama di dunia dan berharap untuk mengangkat dirinya ke kedudukan mereka, atau, ke "posisi yang selayaknya". Karena pengaruh cita-cita ini, bangsa Italia berharap untuk menjadi sekuat Inggris Raya, Prancis dan Jerman.
Krisis sosial, politik, dan ekonomi juga berperan penting dalam pembentukan Nazisme di Jerman, yang telah kalah dalam Perang Dunia I. Pengangguran dan krisis keuangan menambah kekecewaan akibat kekalahan itu. Inflasi meningkat hingga tingkat yang jarang dapat disamai. Anak-anak kecil bermain dengan uang kertas bernilai jutaan mark, karena uang, yang merosot nilainya dalam hitungan jam, menjadi tak lebih dari selembar kertas nilainya. Bangsa Jerman ingin memulihkan harga diri mereka yang hilang dan kembali ke taraf hidup yang lebih baik. Dengan janji untuk memenuhi harapan-harapan seperti ini, Nazisme muncul dan memperoleh dukungan.
Spanyol pra-fasis juga menunjukkan kesamaan dengan negara-negara ini. Hilangnya koloni-koloni Spanyol di kedua sisi benua Amerika pada awal abad ke-19 telah membuat harga dirinya merosot tajam. Pada awal abad ke-20, Spanyol sudah setengah runtuh. Perekonomiannya jatuh, dan hak-hak istimewa yang didapat oleh kaum aristokrat membuka jalan bagi ketidakadilan. Bangsa Spanyol mengenang masa lalunya yang agung dan kuat dengan kerinduan mendalam.
Negara lain yang sangat dipengaruhi oleh fasisme adalah Jepang. Pada masa Jepang pra-fasis, lapisan masyarakat yang lebih tinggi sangat kuatir dengan perkembangan Marxisme di kalangan anak muda. Tetapi mereka tak mampu menentukan bagaimana menyingkirkan ideologi yang merusak itu. Selain itu, perubahan-perubahan sosial seperti itu sangat membingungkan bagi masyarakat yang begitu terikat dengan tradisinya. Ikatan kekeluargaan melonggar, angka perceraian meningkat, rasa hormat kepada kaum tua terkikis, adat dan tradisi ditinggalkan, kecenderungan individualis mulai muncul, kemerosotan di kalangan pemuda mencapai tingkat yang menyedihkan, dan angka bunuh diri mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, stabilitas masyarakat Jepang di masa depan dianggap dalam bahaya. Semua hal di atas membawa mereka kepada kenangan masa lalu. Kerinduan akan masa-masa kejayaan dahulu dan usaha-usaha untuk membangkitkannya, merupakan jebakan awal bagi rakyat yang membawa mereka terjerat sepenuhnya oleh rezim fasis.
Kita juga tak boleh mengabaikan ancaman komunisme, yang saat itu mengancam untuk mengambil alih seluruh dunia. Bisa jadi sejumlah bangsa menyerahkan diri pada rezim-rezim fasisme agar tidak menjadi korban ideologi yang brutal, kejam dan penindas itu, lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, karena percaya bahwa fasisme "lebih baik di antara dua kejelekan".
Teknik-Teknik Pencucian Otak oleh Fasisme
Ada sebuah kekhasan yang sangat buruk pada fasisme dan Nazi Jerman: usaha untuk mencuci otak rakyatnya. Program ini dibangun dengan dua unsur dasar, yakni edukasi dan propaganda.
Dalam Mein Kampf, Hitler menulis, "Propaganda adalah sebuah alat, dan karenanya harus dinilai dengan melihat tujuannya… Propaganda dalam Perang ini merupakan suatu alat untuk mencapai sebuah tujuan, dan tujuan itu adalah perjuangan demi eksistensi rakyat Jerman; karenanya, propaganda hanya dapat dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku untuk perjuangan ini. Dalam hal ini, senjata-senjata yang paling kejam menjadi beradab bila mereka mampu membawa kemenangan yang lebih cepat… Semua propaganda haruslah bersifat umum dan tingkat intelektualnya harus disesuaikan dengan kecerdasan terendah di antara sasaran propaganda. Maka dari itu, semakin besar massa yang ingin diraih, harus semakin rendah tingkat intelektual.
Hitler memang sangat efektif dalam memanfaatkan propaganda. Sebagai contoh, sutradara terkenal Leni Riefenstahl diminta untuk membuat sebuah film propaganda Nazi, Olympia. Dalam Triumph of Will, film lain karya Riefenstahl, Hitler digambarkan hampir seperti dewa. Ideologi pagan Nazi diagung-agungkan dalam film-film ini, dan akhirnya memesona masyarakat. Olympia adalah salah satu pusat dalam budaya pagan Yunani kuno. Kota Olympia, dengan patung Zeus-nya yang terkenal, adalah simbol yang tepat bagi ideologi pagan Nazisme.
Semua rezim fasis, tidak hanya rezim Hitler, sangat efektif menggunakan propaganda untuk memaksakan keinginan mereka kepada publik. Mussolini menyatakannya secara terbuka:
Bagi saya, massa hanyalah sekawanan domba selama mereka tak terorganisasi… Unjuk salam, lagu-lagu dan slogan Romawi… semuanya sangat diperlukan untuk mengipasi api antusiasme yang menghidupkan sebuah gerakan.… Segalanya berpulang pada kemampuan seseorang untuk mengatur massa tersebut bagaikan seorang seniman.

Berhala-Berhala Fasisme: Pemimpin yang dikeramatkan
Bagian paling penting dalam fasisme adalah sang pemimpin, yang namanya ditonjolkan dalam setiap aspek kemasyarakatan. Rezim Hitler, Mussolini dan Franco adalah contoh nyata hal ini. Gelar-gelar yang digunakan para diktator ini, "Der Führer," "Il Duce", atau "El Caudillo", semuanya menyiratkan hal yang sama—"Pemimpin yang mengetahui segalanya". Dan, memang, ketiganya menjalankan pemerintahan masing-masing sepenuhnya berdasarkan keinginan-keinginan mereka sendiri, sementara kolega-kolega terdekat dan perwira-perwira paling senior mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Fasisme melekatkan sebuah kekuatan yang nyaris keramat kepada sang pemimpin, agar ia dapat mempertahankan daya tariknya dan meningkatkan penerimaannya di hati rakyat. Sang pemimpin adalah penguasa seluruh negeri dan rakyatnya, yang digambarkan sebagai bagian dari dirinya. Seorang pemimpin Sosialis Nasionalis, Herr Spaniol, berpidato di Saarbruecken pada bulan Januari 1935:
Aku tidak percaya bahwa Gereja-gereja akan terus eksis dalam bentuknya yang sekarang. Di masa depan agama akan bernama Sosialisme Nasional. Nabinya, pausnya, Yesus-nya, akan bernama Adolf Hitler.
Dengan cara serupa, Mussolini dipandang di Italia sebagai seorang dengan kemampuan istimewa, suatu makhluk unggul, yang dipilih dan diciptakan demi tugas yang diembannya. Perkataan dan pernyataan Mussolini dinamakan "Dekalog Fasis", dan yang kedelapannya: "Duce selalu benar", menjadi slogan yang terdengar di seluruh Italia pada tahun 1920-an dan 1930-an. 39 Tahun 1935, keanggotaan organisasi pemuda fasis, Opera Nationale Balilla, diwajibkan kepada seluruh pemuda Italia. Para pemuda Italia yang menjadi anggota Balilla bersumpah untuk "… percaya kepada Romawi yang abadi… kepada kejeniusan Mussolini, kepada Fasisme Bapak Suci kita.
Cara lain yang digunakan untuk melukiskan pemimpin fasis sebagai keramat adalah dengan menempatkan gambar-gambar dan patung-patungnya di seluruh penjuru negeri. Hal ini memiliki efek psikologis yang mendalam terhadap rakyat, yang terus-menerus merasa diri mereka berada dalam kekuasaan dan pengawasannya, dan bahkan, bahwa dia selalu mengamati mereka.

Jawatan propaganda resmi milik Mussolini biasanya mengarahkan pers bagaimana foto Mussolini akan dicetak, kapan, dan foto yang mana, di halaman berapa, dalam susunan seperti apa, dan dalam ukuran berapa. Dalam foto-foto ini, "Il Duce" tampil di hadapan rakyatnya dengan pose-pose yang megah: sambil mengacungkan pedang, menekankan perkembangan ekonomi di wilayah panen, menyapa kaum fasis muda, sebagai seorang pekerja atau olahragawan yang tak kenan lelah.
Di setiap kesempatan, Mussolini ditampilkan sebagai pahlawan rakyat. Halaman-halaman koran dihiasi foto-fotonya sedang menerbangkan pesawat, berkuda melompati rintangan, berenang, bermain ski di pegunungan Alpen, bermain anggar, memakai kostum terjun payung, dan lain-lain.
Propaganda ini begitu efektifnya hingga teman-teman lamanya pun langsung berdiri menghormat setiap kali bertemu dengannya. Jadi, Mussolini dapat memuaskan egonya yang sangat besar, dengan tidak mempersilakan teman-teman lamanya untuk duduk, melainkan membiarkan mereka terus berdiri selama berjam-jam.
Metode-metode yang digunakan untuk menggambarkan pemimpin fasis sebagai manusia super, selama masa Hitler dan Mussolini berkuasa, juga digunakan oleh kaum fasis modern di masa kita. Diktator fasis di Irak, Saddam Hussein, adalah sebuah contoh. Selama bertahun-tahun, jalan-jalan di Irak dipenuhi oleh gambar-gambar Saddam yang berukuran besar. Dan, di dalamnya, dia diperlihatkan dalam beraneka peran yang berbeda sebagai pemimpin rakyatnya: sebagai petani di desa, pekerja di pabrik, sebagai tentara di barak militer. Dia membuat kehadirannya terasa di mana-mana, dalam upaya untuk memberi kesan sebagai "seseorang yang melihat dan mengetahui segala hal", dengan kata lain, seorang yang keramat.


Nilai-Nilai Sakral yang Keliru dalam Fasisme
Fasisme adalah sebuah kepercayaan keliru yang dibuat untuk menyingkirkan agama-agama ketuhanan dan menggantikannya dengan kepercayaan pagan. Dan, sudah jelas bahwa bila kepercayaan itu keliru, maka nilai-nilai yang disakralkannya pun pasti keliru. Misalnya, kaum Nazi selalu menggunakan slogan "Blut and Boden" (Darah dan Tanah), dan membuat simbol-simbol dari kedua konsep itu. Sebagai contoh, selama manuver Hitler yang gagal pada tahun 1923, salah satu bendera swastika yang basah oleh darah para pendukung Nazi yang terluka, dijadikan barang keramat. Bendera itu dijuluki "Blutfahne" (Bendera Darah) dan diawetkan sebagaimana aslinya, dan menjadi simbol paling sakral dalam semua upacara Nazi. Bendera-bendera baru disentuhkan pada Bendera Darah, sehingga bendera itu dapat menyebarkan sebagian sifat "keramat"-nya.
Perang dan kekerasan, dua unsur yang lebih fundamental dalam fasisme, adalah konsep-konsep pagan yang coba digambarkan oleh fasisme sebagai nilai-nilai sakral. Tujuan agama-agama ketuhanan adalah untuk menciptakan sebuah masyarakat dan dunia yang bebas dari kekerasan dan perang; sedangkan bagi fasisme, perang adalah kebajikan itu sendiri. Fasisme percaya bahwa rakyat mendapatkan kehormatan dan kekuatan dari berperang dan membunuh. Sudah tentu, keyakinan ini mengobarkan lebih banyak perang dan pertumpahan darah. Fasisme terus-menerus mempersiapkan kekejian dan banjir darah yang baru.


Kegandrungan Fasis terhadap Kekerasan
Dalam sebuah laporan berjudul "Orang Inggris di Afrika Kekurangan Dorongan Pembunuh" yang diterbitkan The New York Times pada 24 Juni 1942, James Aldridge menggambarkan pandangan Nazi tentang perang dan pembunuhan dalam kalimat-kalimat berikut:
Para komandan pasukan Jerman adalah ilmuwan-ilmuwan yang terus menerus bereksperimen dan meningkatkan formula pembunuhan yang matematis dan keras. Mereka dilatih bagaikan para ahli matematika, insinyur dan ahli kimia yang berhadapan dengan berbagai masalah rumit. Tidak ada nilai seni di dalamnya, tidak juga imajinasi. Bagi mereka, perang adalah ilmu alam semata. Tentara Jerman dilatih dengan psikologi pencari jejak berani mati. Ia adalah pembunuh profesional tanpa rasa ragu. Ia percaya bahwa ia adalah yang manusia terkuat di muka bumi.
Model "pembunuh profesional" yang digunakan oleh Nazi ini adalah ciri umum fasisme. Kaum fasis memandang penggunaan kekuatan dan kekerasan sebagai tujuan itu sendiri. Pengaruh Darwinisme memainkan peranan penting di sini. Takhyul Darwinis bahwa manusia hanyalah pengembangan dari hewan, dan bahwa hanya yang kuat yang mampu bertahan hidup, sangat bertentangan dengan nilai-nilai etika. Cinta dan kasih sayang digantikan oleh rasa agresi, membalas dendam dan merebut, perasaan yang diperlihatkan kepada manusia sebagai kebutuhan ilmiah.
Kaum fasis menganggap konflik sebagai hukum alam, dan percaya bahwa perdamaian, keamanan dan ketenangan merintangi kemajuan umat manusia. Kata-kata Mussolini saat membuka Sekolah Propaganda dan Budaya Fasis di Milan tahun 1921, merupakan sebuah indikasi tentang ini; ia menyebut aksi sebagai kekuatan yang akan membawa fasisme menuju kemenangan.
Berbagai aksi kekerasan, penghancuran, penyerangan, dan peperangan itulah yang menjaga semangat juang kaum fasis tetap tinggi. Semua ini benar-benar bertolak belakang dari perdamaian, persaudaraan, dan ketenangan.
Kebodohan kaum fasis juga memegang peran sangat penting dalam kecenderungan mereka akan kekerasan. Karena itulah Hitler membutuhkan tentara tempur, bukan para intelektual, dalam rezim rasisnya.
Berbagai aksi kekerasan Nazi dibawa ke tujuan itu melalui organisasi-organisasi yang dibentuk khusus. Yang paling pertama adalah SA (Sturmabteilung, atau Pasukan Badai) yang dibentuk tahun 1920, dan mencapai kualitas paramiliter pada tahun 1921. Banyak sekali penjahat jalanan yang tergabung dalam barisan SA. Kelompok ini juga dikenal sebagai pasukan "Kemeja Coklat", dan dipimpin oleh Ernst Röhm, yang terkenal dengan pembawaan psikopatiknya (dan kecenderungan homoseksualnya). SA melakukan tindakan terorisme yang tak terhitung jumlahnya selama tahun 1920-an untuk memperkuat Partai Nazi. Unit-unit SA melakukan berbagai serangan mendadak terhadap para penentang Nazi, menumpahkan darah dalam perkelahian jalanan, dan menyiksa para penentang yang mereka jadikan "tawanan perang". Hitler sangat membanggakan kekejaman SA. Dalam buku Mein Kampf, ia melukiskan sebuah penyerangan yang "sukses" terhadap penentang Nazi:
Ketika aku memasuki ruang depan Hofbräuhaus (aula bir) pada pukul delapan seperempat, tidak ada keraguan lagi atas tujuan yang ada. Ruangan itu begitu padat dan karenanya telah ditutup oleh polisi… Sekelompok kecil SA menantiku di ruang depan. Aku memerintahkan pintu-pintu menuju ruang besar ditutup dan menyuruh 45 atau 46 orang untuk berbaris… pasukan badaiku—begitulah mereka disebut sejak saat itu—menyerang. Bagaikan serigala, mereka menyerbu musuh dalam kelompok delapan atau sepuluh orang berkali-kali, dan sedikit demi sedikit mulai melempar mereka keluar dari ruangan. Setelah lima menit saja, aku hampir tak melihat satu orang pun yang tubuhnya tak tertutupi darah.
SA mulai kehilangan pamor saat Nazi berkuasa, dan SS (Schutzstaffel, atau Detasemen Pengawal) yang lebih profesional, dengan disiplin militernya, mulai naik daun. Kesatuan ini memakai seragam hitam. Para pemuda diseleksi berdasarkan "kriteria ras" untuk menjadi anggota SS. Mereka harus memiliki ciri-ciri ras Aria. Waffen-SS adalah sayap militer dari SS. Totenkopf, atau Kepala Maut, divisi dalam Waffen-SS sangat terkenal dengan kekejamannya, dan ditarik untuk mengelola kamp-kamp konsentrasi.
Kamp-kamp serupa juga dibangun oleh Mussolini, dan 18.000 dari 35.000 orang yang dijebloskan ke dalam "kamp-kamp pembasmian" ini mati dibunuh. Masih banyak lagi kematian dan pembunuhan lainnya, serta pembunuhan yang tak terbongkar selama periode fasis di Italia. Mussolini mengakui kekejaman fasisme ini dalam salah satu pidatonya: "Fasisme bukan lagi pembebasan, melainkan tirani, bukan lagi pengawal bangsa, melainkan bagi kepentingan-kepentingan pribadi.

Politik Pendudukan Fasisme
Ciri khas lain yang tanpanya Fasisme tidak akan mampu bertahan adalah politik ekspansi dengan cara menduduki negara lain. Dasar politik invasi ini adalah rasisme, dan konsep "perjuangan untuk bertahan hidup di antara ras-ras", sebuah warisan dari Darwinisme. Negara-negara fasis percaya bahwa untuk berkembang sebagai sebuah bangsa, mereka harus menguasai bangsa-bangsa lain yang lebih lemah, dan tumbuh dengan mengisap mereka.
Menurut cara berpikir fasis, manusia hanya bisa maju dengan melibatkan diri di dalam peperangan. Oleh karena itu, "militerisme" adalah karakteristik fasisme yang paling menentukan. Untuk mendorong semangat perang ini, partai-partai fasis berusaha untuk mengesankan rakyat dengan pakaian-pakaian seragam dan upacara-upacara yang megah. Dalam ucapan Mussolini, "Fasisme… tidak percaya pada kemungkinan ataupun kegunaan perdamaian abadi. Hanya perang yang membangkitkan seluruh energi manusia hingga ke tingkat tertinggi dan memberi martabat bagi orang yang punya keberanian untuk mencapainya.
Mussolini mengungkapkan penentangan terhadap perdamaian dalam pidatonya yang lain, "Aku tidak percaya pada perdamaian, dan aku memandang perdamaian menghilangkan semangat dan merupakan sebuah sangkalan terhadap seluruh kebaikan manusia.
Mussolini menimbulkan penderitaan yang sangat besar, baik pada rakyatnya sendiri maupun pada negara-negara yang dia duduki, atas nama ideologi. Dia menginvasi Ethiopia (Abesinia) tahun 1935, dan 15.000 muslim tak berdosa dibunuh demi mewujudkan mimpi "membangun kembali Kekaisaran Romawi". Ia sama sekali tidak merasa menyesal telah memerintahkan penembakan terhadap orang-orang sipil yang melawan pendudukan. Dia juga bertanggung jawab atas kekejaman yang mengerikan berupa penggunaan gas beracun terhadap rakyat sipil.
Catatan paling memilukan dari politik pendudukan fasisme, tentu saja, adalah Nazi Jerman. Nazi mengklaim bahwa bangsa Jerman, yakni "ras yang berkuasa", membutuhkan "ruang untuk hidup" di luar batas negara Jerman, dan atas alasan itu memicu Perang Dunia II. Hanya dalam waktu singkat, Angkatan Darat Jerman telah menduduki Polandia, Belgia, negara-negara Baltik, Prancis, semenanjung Balkan dan Afrika Utara, menyerbu Rusia hingga ke Moskow, dan dari sana menuju Laut Kaspia. Pembunuhan ini, yang pada akhirnya memuncak menjadi sebuah petaka bagi rakyat Jerman dan negara-negara pendudukan, menyebabkan tewasnya 55 juta jiwa, dan merupakan warisan fasisme paling berdarah di abad ke-20.

Dikutip dari buku: Fasisme, karya Hugo Purcell dan FASISME Apa Itu dan BagaimanA Melawannya, karya Leon Trotsky (1944)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terimakasih telah mengulas buku INSISTPress. Rehal buku ikut dilansirkan di http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=6079