Dilihat dari sudut pandang Islam, terpilihnya Gus Dur telah membuka babak baru politik Islam di Indonesia. Setelah beberapa dekade mengalami marginalisasi, melalui sebuah proses evolusi sosiologis yang sangat panjang, Islam kemudian berhasil tampil di panggung kekuasaan. Gus Dur, salah satu elite Islam terkemuka, menjadi simbol yang amat membanggakan bukan saja bagi umat NU, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan. Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden melengkapi rasa bangga umat Islam, karena dua orang elite Islam terbaik, Amien Rais dan Akbar Tandjung, sebelumnya telah berhasil menduduki jabatan politik di lembaga tertinggi dan tinggi negara, MPR dan DPR. Tak terbayangkan sama sekali, jika suatu masa gema takbir, tahmid, dan salawat berkumandang di Gedung MPR, yang menandai kemenangan Islam dalam percaturan politik nasional. Tentu saja sebuah kemenangan yang diharapkan akan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa, sesuai dengan pesan moral agama bahwa ``Islam adalah rahmatan lil alamin.`` Harapan ini cukup beralasan, karena elite-elite politik Islam, terutama Gus Dur adalah figur yang mewakili gerakan Islam liberal, dengan agenda utama demokratisasi, keadilan, dan keterbukaan.

Sebagai pemikir Islam terpandang, Gus Dur mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam bereksperimentasi tentang Islam liberal, yang dinilai kompatibel dengan cita-cita nasional. Agenda utama gerakan Islam liberal adalah menjadikan Islam sebagai landasan etik dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ideal Islam seperti keadilan, egalitarian, keterbukaan, demokrasi, dan penghargaan pada pluralisme harus menjiwai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi kalangan pendukung gerakan Islam liberal, simbol Islam formal itu bukan suatu hal yang utama dan tak penting. Yang terpenting adalah mengejawantahkan nilai-nilai ideal tersebut dalam praktik kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Substansi dan spirit Islam jauh lebih utama ketimbang segala hal yang bersifat simbolis.

Bagi pemikir Islam liberal seperti Gus Dur, Islam itu bukan suatu doktrin beku yang menutup peluang bagi adanya interpretasi. Islam adalah sebuah teks terbuka, yang menyediakan ruang bagi penafsiran-penafsiran baru berkaitan dengan isu-isu kontemporer, sejalan dengan perkembangan zaman. Perubahan dinamis dalam kehidupan masyarakat, menuntut umat Islam untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif sebagai respons terhadap fenomena kehidupan modern. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, Islam tak perlu ditampilkan secara formal, misalnya, sebagai agama negara seperti di Iran atau Sudan. Sebagai bangsa majemuk, umat Islam harus lebih mengutamakan penegakan keadilan, pembangunan demokrasi, dan pengembangan watak inklusivisme.

Jika umat Islam mampu merealisasikan ide-ide besar tersebut, maka hal itu merupakan sumbangan terpenting bagi ikhtiar mewujudkan cita-cita Indonesia modern. Sebagai sebuah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia harus mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam itu kompatibel dengan kemodernan, demokratis, dan terbuka. Indonesia harus menjadi alternatif rujukan bagi pandangan masyarakat Barat tentang Islam. Bahwa wajah Islam itu tak selalu radikal dan fundamentalis seperti di Iran atau Aljazair, tapi ada juga wajah Islam yang moderat seperti di Indonesia.

Gus Dur merupakan figur yang unik, dan mungkin fenomenal. Ia merupakan paduan antara pemikir dan aktivis sekaligus. Sebagai pemikir, Gus Dur terlibat secara sangat intensif dalam pergumulan pemikiran Islam berbagai mazhab dan beragam aliran. Basis pemikiran keislaman Gus Dur berakar pada tradisi keilmuan klasik yang sangat kuat, dengan kombinasi wawasan dan khazanah pemikiran modern yang sangat kaya. Gus Dur acap kali terlibat dalam perdebatan intelektual, dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh `gerakan kiri` seperti Oscar Camara atau Leonardo Boff di Brasil. Ia memahami betul filsafat pemikiran dalam teologi pembebasan dan gerakan sosial Katolik di Amerika Latin yang sangat populer itu. Barangkali lantaran terinspirasi oleh gerakan kiri tersebut, maka corak pemikiran dan pandangan politik Gus Dur agak sedikit berwarna `sosialis-demokrat`.

Sebagai aktivis, sudah sejak lama Gus Dur terlibat dalam perjuangan demokrasi di Tanah Air. Ia merupakan satu dari sedikit tokoh nasional yang begitu gigih mendorong proses demokratisasi dari bawah (baca: akar-rumput). Sumbangan terpenting Gus Dur adalah kerja-kerja pemberdayaan masyarakat di lapisan bawah melalui berbagai instrumen sosial, terutama lembaga pendidikan (pesantren) dan lembaga sosial ekonomi. Bahwa demokrasi itu hanya bisa dibangun di atas landasan pendidikan yang kuat, dengan ditopang oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang memadai. Demokrasi mensyaratkan tersedianya lapisan masyarakat terdidik dan golongan sosial yang secara ekonomi relatif makmur. Gus Dur menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi, yang bertumpu pada perkuatan lembaga-lembaga sosial nonnegara yang ada di masyarakat.

Sisi-sisi menarik dari progresivitas dan liberalisme pemikiran Abdurrahman Wahid, di satu sisi, dan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam tubuh NU selama kepemimpinannya, di sisi lain, kemudian menjadi sumber dan obyek diskusi, analisis dan penelitian yang dilakukan baik oleh pengamat di dalam maupun di luar negeri. Beberaapa disertasi, tesis , buku dan paper telah ditulis untuk keperluan itu.

Seperti kaum intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Abdurrahman Wahid membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khasanah pemikiran sunni klasik. Greg Barton (1995), Fachry Ali (1990), Bachtiar Effendi (1990) memasukkan Abdurrahman Wahid dalam kategori neo-modernisme Islam. Barton sendiri menyebut lima ciri yang menonjol dalam aliran neo-modernisme, perubahan dan pembangunan. Hal ini bukan berarti neo modernisme tidak bersikap kritis terhadap pembangunan. Aliran ini justru sangat kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari pembangunan.

Kedua, tidak seperti aliran fundmentalisme, neo modernisme tidak melihat Barat sebagai ancaman atas Islam dan Umatnya. Peradaban Barat dan Islam harus saling mengisi. Dalam konteks ini neo-modernisme tidak hanya membela ide-ide Liberal Barat seperti demokrasi dan Hak Asasi Manusia, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam mempunyai kepedulian yang sama dengan Barat mengenai hal itu.

Ketiga, neo-modernisme Islam mengafirmasi semangat “sekularisasi” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai salah satu upaya membangun titik temu antara Islam dan negara. Preferensi ini didasarkan pada asumsi bahwa al-Qur’an dan Sunnah bukan saja tidak memuat cetak biru (blue print) untuk sebuah negara Islam, tetapi juga tidak menentukan bahwa negara Islam merupakan suatu keharusan (Hasan, 1987 ; 246).

Keempat, Neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, uatamanya dalam menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarkat dan menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar-komunal.

Kelima, Neo-modernisme banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme ijtihad secara kontekstual. Berbeda dengan kaum modernis sebelumnya, neo-modernisme berusaha membuat suatu sintesa antara khasanah pemikiran Islam tradisional dengan kaharusan berijtihad, serta dengan gagasan-gagasan Barat dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora[1].

Abdurrahman Wahid, dalam konteks ini, tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj) teori hukum (ushul al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qawaid al-fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab peruahan-perubahan aktual. Metodologi intelektual Sunni tradisional itu dielaborasi sampai pada tingkat tertentu yang memungkinkan suatu persoalan dijawab secara tuntas dengan menggunakan perspektif metodologi klasik itu tanpa harus menundukkan realitas-realitas yang muncul di bawah perspektif agama secara kaku.

Sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa Abdurrahman Wahid berusaha konsisten dengan paradigma kontekstualisasi ini. Di samping latar belakang pendidikan dan keluarga yang akrab dengan khasanah pemikiran Sunni klasik, Abdurrahman Wahid berusaha membangun sejarah pemikiran sebagai suatu continuum dari sejarah intelektual sebelumnya. Pilar-pilar sejarah intelektual masa lalu merupakan penopang yang paling kuat dari pemikiran Islam kontemporer.

Khasanah pemikiran Islam tradisional (legacy of the past), menurut Abdurrahman Wahid , tidak hanya memberikan spirit pada pola hidup egalitarian dan pembangunan masyarakat yang toleran dan berkeadilan, namun lebih dari itu, khasanah pemikiran klasik juga bisa digunakan untuk menemukan kembali esensi pengalaman keagamaan secara total yang melintasi batas kerangka legal-formalistik dan pendekatan monokultural terhadap realitas[2].

Corak pemikiran Abdurrahman Wahid yang liberal dan inklusif secara nyata sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap berbagai khasanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi, termasuk terhadap pemikiran hukum Islam. Kontribusi fiqh terhadap inklusivisme dan pluralisme adalah karena fiqh merupakan pengembangan gugusan hukum agama yang tidak pernah berhenti berkembang. Hal ini dapat dibuktikan dalam karya-karya ulama besar masa lampau, misalnya diwujudkan dalam kecenderunagn yang amat kuat untuk melakukan proses penyesuaian dengan keadaan setempat, tanpa mengorbankan prinsip umum dari hukum agama itu sendiri.

Berangkat dari paradigma kontekstualisasi pemikiran fiqh dari teori ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah di atas, Abdurrahman Wahid kemudian secara tegas dan siap memperlihatkan perhatiannya yang tinggi terhadap perubahan dan persoalan-persoalan masyarakat modern, termasuk masalah hak asasi manusia dan demokrasi.

Dalam konteks ini, Abdurrahman Wahid sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion). Konteks kesejarahan Islam menunjukkan ahwa agama ini lahir sebagai sebuah protes terhadap ketidakadilan di tengah masyarakat komersial Arab. Al-Qur’an secara jelas memberikan dorongan untuk peduli terhadap hak-hak asasi manusia dan melindungi mereka dari manipulasi yang datang dari kelas-kelas masyarakat yang lebih kuat.

Semangat pembebasan yang diusung Nabi Muhammad pada awal sejarah Islam secara jelas menunjukkan bahwa agama ini mempunyai nilai-nilai universal yang bisa menjadi inspirasi teologis bagi pengembangan sebuah struktur kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil, egaliter dan demokratis. Suatu struktur yang didalamnya hak-hak dasar manusia berdaulat benar-benar dilindungi dan dihormati.

Berfungsi atau tidaknya nilai atau prinsip-prinsip dasar agama itu dalam pembangunan suatu masyarakat yang hubungan antara agama dan politik itu sendiri masih menjadi sebuah diskursus yang belum tuntas akan ditentukan oleh pola hubungan antara agama dan politik sebagai sebuah konsensus dominan suatu kawasan tertentu. Pola mana yang juga akan mempengaruhi diskursus-diskursus keagamaan dominan yang ada di dalamnya.

Abdurrahman Wahid secara tegas menolak baik fungsi suplementer agama dalam negara maupun fungsi alternatif agama sebagai idiologi tunggal negara. Dipilihnya agama sebagai suplemen dalam kehidupan bernegara aan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan tidak mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak bagi kebebasan berbicara dan berpendapat. Dalam posisisnya yang bersifat suplementer, hubungan agama dan negara akan bersifat manipulatif, yaitu sekdar menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi terhadap kekuasaan.

Namun Abdurrahman Wahid juga menolak dijadikannya sebagai idiologi alternatif bagi negara. Dalam sebuah negara pluralistik, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai idiologi negara hanya akan memicu disintegrasi yang berbasis pada sektarianisme. Negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan.

Dalam sebuah negara pluralistik, dan pada asarnya pluralitas negara merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurut Abdurrahman Wahid, Islam seharusnya diimplementasikan sebagai sebuah etika sosial (social ethics) ), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.

Bagi Abdurrahman Wahid, preferensi agama sebagai etika sosial juga merupakan salah satu alternatif untuk menghindarkan berturan agama vis a vis modernitas atau pembangunan bangsa. Karena pada tingkat tertentu, modernisasi kan selalu diikuti sekulerisasi. Dalam beberapa hal, substansi modernisasi (sekularisasi) mempunyai nilai efektif dan fungsional bagi pengembangan masyarakat modern. Menempatkan agama sebagai etika sosial merupakan konstruk yang menyeimbangkan antara keharusan mengambil nilai-nilai positif dari sekulerisasi (bukan sekulerisme) dan operasionalitas operatif sebagai manifestasi ketaatan terhadap ajaran agama.



[1] ibid

[2] Greg barton,Biografi Gusdur, LKiS, Yogyakarta, 2006

0 komentar: